Halaman

7 Apr 2015

BAYI


Langkah kakinya selalu terasa berat menghadiri acara arisan keluarga tiga bulanan ini. Dia jenuh dengan pertanyaan yang itu-itu lagi. Walaupun senyum yang setengah mati dipaksakan itu masih selalu tersungging dari bibirnya, tetapi sebenarnya dalam hati meringis pilu.

“Dita, apa kabar? Gimana ini sudah isi belum?” kata budhe Uci sambil mengelus perutnya.

Dita hanya tersenyum dan membalas, “Isi nasi sama siomay sih sudah barusan.”

“Duh, kamu itu lho. Masih kerja tho? Sudah resign saja, kamu itu pasti kecapekan. Apa sih yang kalian cari, suamimu saja yang kerja juga sudah cukup. Budhe dulu juga tidak kerja tapi juga gak kekurangan. Rejeki itu selalu ada saja kok.” Budhe Uci menceramahinya panjang lebar. Dita hanya bisa tersenyum kaku sambil mengangguk-angguk tanda jengah.

Dita menjawab pahit, “Iya, budhe, ini kerjanya sudah jauh dikurangi kok, sudah tidak pakai lembur.”

Yo wis, budhe doakan biar cepet dapat momongan yo, biar ndak kesalip lagi sama adik-adik sepupumu yang lain.”

“Iya, budhe, makasih,” jawab Dita pasrah.

Dita sedang menikmati es buah di sudut ruangan ketika tangannya tiba-tiba ditarik Mbak Ratna, sepupunya. Dia berbisik-bisik ke telinga Dita.

“Hei, Dit, kamu kalau gituan pakai ditahan gak sih?” Tanya Mbak Ratna tanpa berbasa-basi.

Dahi DIta berkerut-kerut, berusaha mengartikan pertanyaan Mbak Ratna. “Maksudnya apa, mbak? Dita tidak paham.”

“Duh, begini lho, kalau punya suamimu sudah keluar di dalam, kedua kakimu harus kamu angkat tinggi-tinggi di tembok, ditahan begitu. Supaya sperma yang sudah ada di dalam tidak mblebler keluar lagi,” kata Mbak Ratna dengan vulgar tanpa filter.

“Sudah, kamu coba saja. Aku juga dulu begitu, terus jadi deh tuh lima krucil,” paksa Mbak Ratna. Dita lagi-lagi hanya bisa tersenyum masam. Tidak meng-iya-kan, tetapi juga tidak menyanggah.

Dalam hati, Dita berjanji, sekali lagi ada yang menasehatinya mengenai cara membuat bayi, dia akan langsung pergi meninggalkan acara.

“Hai Mbak Dit, baru lihat nih. Oh ya, kenalin, ini calon suami aku, Fajar.” Kali ini adik sepupu jauhnya yang menyapa dengan gaya centilnya.

Setelah berkenalan dan sedikit berbasa-basi dengan Nina, adik sepupu jauhnya itu, tibalah pada obrolan yang membuat Dita rasanya benar-benar ingin teriak.

“Mbak Dit, kemarin kan aku KKN di Serang, disana ada dukun pengobatan alternatif supaya cepat dapat keturunan. Ramai mbak yang berobat kesana. Jadi, perut mbak nanti dipijat, terus disuruh minum jamu-jamu gitu biar makin subur. Mbak coba kesana aja, nanti aku kasih alamatnya,” cerocos Nina.

Dita belum sempat menyahut ketika Nina masih melanjutkan ocehannya, “Jaman sekarang mbak, harus punya anak kalau mau suaminya setia. Mbak sudah lama menikah, apa gak takut kalau nanti Mas Krishna selingkuh demi dapat keturunan?”

Tanpa pikir panjang langsung ditariknya Krishna, suaminya, memaksanya beranjak dari sana. Dita muak. Tidak ada yang bisa merasakan betapa Dita dan Krishna merindukan kehadiran bayi di tengah mereka. Berbagai usaha sudah mereka lakukan, tetapi Tuhan memang belum mengijinkan.

Bayi.

Memang itu yang diinginkannya sebagai kado anniversary ke-7-nya tahun ini. Doanya.

=======