Halaman

21 Nov 2010

Experiencing Onrop! Musikal

Semalam akhirnya saya menonton Onrop! Musikal. Tiketnya sudah saya beli sejak satu bulan yang lalu, padahal saya sama sekali tidak punya gambaran tentang apa yang akan saya tonton. Katakan saya terlalu terpengaruh tweet si sutradara @jokoanwar, tapi ya itulah saya, terlalu mudah dibuat penasaran. Mungkin saya juga terlalu mudah disenangkan, asal berkaitan dengan tari dan musik yang memang saya cintai, sudah pasti saya langsung tertarik.

Demi mengantisipasi antrian, saya sudah tiba di lokasi sejak 1 jam sebelumnya. Benar saja, masuk ke TIM lumayan mengantri, mungkin juga karena berbarengan dengan para penonton Harry Potter yang sedang booming itu. Pukul 19.30 WIB saya mulai masuk gedung. Banyaknya petugas dan petunjuk tempat duduk amat membantu buat saya yang baru pertama kalinya datang ke Teater Besar TIM.

Saya mendengar suara gong (mungkin 2x) yang dibunyikan sebelum pertunjukan dimulai. Awal pertunjukan saya sempat terganggung dengan banyaknya lampu ponsel yang masih menyala ketika lampu gedung sudah dipadamkan. Kebiasaan buruk masyarakat kita kalau menonton cinema. Tapi, untungnya tidak berlangsung lama, karena akhirnya sepertinya penonton terbius dengan show berdurasi hampir 120 menit.

Secara keseluruhan, saya sangat menikmati pertunjukan ini mulai dari awal hingga akhir. Seperti yang banyak diulas (silakan googling sendiri beragam ulasannya atau cari hashtag #Onrop di twitter), tema cerita ‘Sebuah Komedi Satir Bagi Yang Masih Percaya Akan Kekuatan Cinta’ yang diangkat memang cukup berani, penuh kritik sekaligus sinis, tetapi dikemas menjadi tontonan yang segar dan menghibur. Paduan pemain yang berkualitas, musik dan vocal yang digarap secara detail, koreografi yang tegas, pencahayaan yang baik, set latar yang hidup, crew yang kompak sampai program promosi yang maksimal mampu mendulang sukses besar dalam pertunjukan yang hanya 9 hari ini.

Walaupun sebagai orang awam di dunia teater, ada beberapa alur cerita yang kurang masuk akal bagi saya. Misalnya bagian Bram diadili dan dinyatakan bersalah tanpa ada keterangan saksi. Atau ketika Bram dan Sari harus kissing agar dapat dibuang bersama ke Pulau Onrop, padahal sebelumnya Bram sudah berhasil pergi dari Pulau Onrop menggunakan kapal. Tapi, apalah artinya kebingungan saya kalau secara keseluruhan masih tetap menghibur. Jadi, lupakan saja.

Dari seluruh bagian drama musikal ini, saya ingin memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada sang koreografer Eko Supriyanto (@ekosdance) dan seluruh dancer. Tanpa kehadiran mereka, saya yakin, Onrop akan terasa hambar. Stimulus terbesar sampai akhirnya saya memutuskan menonton Onrop adalah video latihan menari di pinggir pantai yang saya lihat di www.onropmusikal.com . Saya, yang dahulu pernah menari, cukup tahu bahwa untuk membentuk satu gerakan yang sempurna tidaklah mudah. Apalagi membangun stamina untuk terus menari selama hampir 2 jam nonstop jelas memerlukan latihan berbulan-bulan. Oh ya, saya suka sekali bagian Act One – Scene 3 ketika Amir menjelaskan gambaran Pulau Onrop, dimana para dancer menari dari balik layar putih sehingga hanya tampak siluetnya saja. That’s awesome!

Secara singkat, saya setuju dengan pelajaran moral yang diusung Onrop, yaitu toleransi. Kata sederhana yang seringkali diabaikan. Kita sering lupa bahwa sebagai individu, kita berhak memiliki perbedaan dalam hal apa pun, sesuai dengan keyakinan diri masing-masing. Setiap orang seharusnya bisa berlapang dada menerima perbedaan dan menghormati perbedaan itu, tanpa harus memaksakan kehendak. Seandainya setiap orang bisa saling menghormati perbedaan, hidup pasti akan terasa lebih indah dan damai.

Konsep teater musikal (penggabungan drama, tari, musik) masih jarang dipertontonkan di Indonesia, walaupun sepanjang tahun 2010 ini memang sudah ada beberapa yang lebih dulu muncul, misalnya Gita Cinta dan Jakarta Love Riot. Meskipun Onrop bukan yang pertama, menurut saya dialah yang berhasil membangun minat baru para pencinta dan penikmat seni di Indonesia. Saya pun tidak terkecuali, ke depan saya pastikan akan lebih sering menonton drama musikal. Jangka pendek, kita tunggu saja kabar Musikal Laskar Pelangi dan Ali Topan. Jangka panjang, semoga di masa mendatang saya masih bisa menikmati kembali kejeniusan Joko Anwar dalam dunia hiburan yang makin beragam.

Akhirnya, saya berharap akan lebih banyak lagi pertunjukan drama musikal berkualitas yang akan dibuat sebagai alternatif hiburan di Indonesia. Semakin banyak pula perusahaan atau organisasi yang mau mensponsori acara semacam ini supaya harga tiket yang dijual bisa lebih ekonomis dan terjangkau oleh semua kalangan.

Dan saya masih juga bermimpi suatu saat akan dapat meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai kantoran dan kembali melanjutkan kesenangan saya, menari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar