Dundas Square (photo taken from google images) |
Hari Jumat memang hari istimewa
dibanding enam hari lainnya. Hari baik dimana para pria muslim akan
berbondong-bondong melakukan sholat Jumat, termasuk mereka yang biasanya alpa
sholat wajib. Hari sibuk dimana semua deadline
mingguan biasanya harus selesai. Hari hura-hura karena begitu jam kerja
berakhir biasanya semua orang serentak menuju pusat perbelanjaan untuk sekedar
melepas jenuh yang tertumpuk.
Setelah meeting marathon sejak pukul 9 pagi sampai 5 sore, sekarang Vari
bercampur dengan ratusan orang lainnya di padatnya lalu lintas Jakarta.
Berlari-lari melalui koridor panjang halte Trans Jakarta dengan high heels 7cm yang tadi lupa ditukar
dengan flat shoes. Berdesakan membaur
dengan beragam aroma yang menguar. Berhimpitan sampai tak jarang antar kulit
pun nyaris tak ada sekat.
Empat puluh lima menit kemudian, masih
dengan napas yang belum sepenuhnya teratur, senyum ringan sudah tersungging di
bibir Vari. Rupanya hawa sejuk pusat perbelanjaan di kawasan Senayan ini sukses
memberikan sedikit ketenangan setelah merasakan pengapnya angkutan umum. Masih
ada beberapa menit untuk mengatur ulang penampilan sebelum bertemu dengan teman-teman
ceriwisnya.
Vari masih berkutat dengan potongan
pizza di piringnya ketika dilihatnya ada seorang pria mengamati mereka dari
meja seberang. Vari balas menatap. Lalu tiba-tiba pria itu berdiri dan berjalan
menghampiri mejanya. Vari panik.
Tanpa disangka ternyata pria itu
justru menyapa salah satu temannya. Vari menunduk, tersenyum tipis. Dia salah
sangka. Ternyata sedari tadi pria itu mengamati temannya, bukan dia. Dan
setelah melalui proses perkenalan singkat, pria itu menunjuk ke meja seberang
yang tadi ditempatinya, menjelaskan kalau dia kemari juga bersama teman-teman
kantornya. Sekali lagi, Vari ikut mengamati satu per satu wajah teman si pria
di meja seberang.
Tanpa sadar, sedari tadi Vari
menatap lekat seorang pria yang wajahnya tampak tak asing. Si pria tersenyum.
Membius. Vari membalas senyum itu sambil terus berusaha mengingat. Itu, dia.
Ya, dia yang dulu sempat membuatnya gundah. Dia yang sekarang pun tetap menariknya
ke medan magnetnya. Dia si pria di bandara itu. Ah, betapa lucunya teka-teki
waktu dan tempat ini tercipta.
---------------
Vari baru keluar dari kamar mandi.
Berjalan sambil menunduk, membenahi bajunya yang agak terlipat. Saat dirasanya
ada sebuah colekan kecil di lengan kirinya. Spontan dia menoleh.
“Hai, kita ketemu lagi,” sapanya
sambil mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan.
“Hai,” Vari menjawab tergagap sambil
membalas jabat tangannya.
“Gue Iben. May I know your name?” katanya masih dengan senyum yang tak pernah
lepas sedikit pun dari mulutnya.
“Oh. Gue Vari,” jawabnya singkat.
Terpana.
“Oke, Vari. Gue bisa pastikan, ini
bukan terakhir kalinya kita ketemu. Can
we exchange phone numbers?” tanyanya sambil mengulurkan smartphone miliknya, berharap Vari akan
menuliskan nomornya sendiri.
Vari seperti terhipnotis. Tanpa
pikir panjang, diketiknya nomor teleponnya pada smartphone milik Iben.
Beberapa detik kemudian, terdengar
nada Sweet Escape dari No Doubt.
“Sudah gue missed call. Mudah-mudahan
elo bersedia menyimpan nomor gue, supaya kalau kapan-kapan gue telepon ga
disangka orang iseng. Ok, selamat melanjutkan makan malam. See you soon!” Katanya ringan sambil melangkah meninggalkan Vari
yang masih terdiam. Mencerna.
Masih dengan setengah sadar, Vari
kembali ke meja. Mendadak tidak bisa fokus mendengarkan celoteh
sahabat-sahabatnya. Masih tidak habis pikir, kenapa dia bisa sebegitu mudahnya
memberikan nomor telepon pada orang yang tidak dikenal. Masih mengingat rasa
hangat tangan Iben ketika berjabat tangan. Memutar ulang senyum Iben yang
berhasil direkamnya dalam ingatan. Ada rasa hangat menjalari hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar