Halaman

17 Mar 2010

Kompromi


6.32 PM @office

Wanita berparas ayu itu bergegas membereskan barang-barangnya. Dia sadar sudah terlambat untuk memenuhi janji bertemu dengan seorang sahabat. Benar saja, ponselnya berbunyi tanda ada pesan di BBM.

7.28 PM @coffee shop

Lana langsung menuju sebuah meja begitu melihat lambaian seorang wanita berpenampilan menarik. Ya, menarik, hanya memakai kemeja dan celana pantalon saja, dia sudah berhasil membuat beberapa pasang mata pria dan wanita mencuri pandang.

"Ah, Karlyshia, maafkan aku terlambat, ternyata meeting-nya lebih panjang dari yang kukira," Lana menyapanya dengan ramah sembari memberikan peluk cium.
"Ya, aku tahu, selalu begitu. Alasanmu selalu saja urusan kantor, tidak pernah ada yang lain," sahut si karib dengan wajah setengah kesal.
"Jadi, adakah yang bisa kubantu sampai kau mengundangku secara mendadak hari ini"
"Tentu saja, kalau tidak buat apa aku repot-repot minta bertemu denganmu yang aku tahu adalah orang paling sibuk di hari-hari kerja seperti sekarang."
Yang ditegur hanya tertawa renyah tanpa berusaha bertahan.

Ada kediaman antara keduanya selama beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Si karib berusaha menyusun kata-kata yang paling tepat.

"Katakan padaku, apa yang membuatmu akhirnya memutuskan menikah? Semua orang tahu saat itu kau ada di puncak karirmu. Kau cantik, pintar, sukses dan masih muda. Apakah kau pernah menyesalinya?"
Lana tersentak. Menerawang. Mendesah pelan sebelum akhirnya berujar.
"Sejujurnya Karlyshia sayang, mungkin aku dulu sama sekali tidak memikirkannya. Waktu itu aku sama sekali tidak tahu, apakah aku memang sudah siap menikah. Tapi, kalau kau tanya apakah aku menyesalinya, jawabanku pasti. Tidak."
"AKu tidak mengerti. Menikah berarti kita bersedia membagi segalanya dengan orang lain. Menikah berarti bersedia membagi waktu sendiriku. Menikah berarti selamat tinggal kebebasan. Bahkan kadang menikah juga berarti selamat tinggal tangga karir, kesempatanmu tertutup karena tidak semua perusahaan mau menerima karyawati yang sudah menikah."
"Kurasa kau hanya terpengaruh pikiranmu sendiri, Karlyshia. Tidak semua berarti masih ada. Walaupun perbandingannya 1:5, tapi tetap ada. Kalau menurutmu menikah berarti membagi segalanya, kau benar. Tapi, menikah bukan berarti mengekang kebebasanmu. Apakah frekwensiku bekerja berkurang?"
"Saat ini, tidak."
"Apakah frekwensiku kumpul-kumpul sampai larut malam berkurang?"
"Tidak."
"Lalu, apakah setelah aku menikah, karirku turun?"
"Ah, tidak, kau semakin bersinar. Tapi, mungkin kau saja yang beruntung, suamimu tidak pernah menuntutmu terlalu banyak."
"Kau, hanya terlalu ketakutan. Aku akui, menikah tidak mudah karena ada komitmen disana. Tapi, itu semua tergantung bagaimana kau dan pasanganmu bisa saling menghormati. Kalau kau suka travelling, katakan padanya terus terang kalau ingin terus begitu setelah menikah."
"Tidak mungkin, Lana. Kau tahu sendiri dia tidak suka travelling. Dia hanya tertarik dengan gadget dan software dan segala macam hal yang aku tidak mengerti."
"Kalau memang begitu, lalu apa yang membuatmu tertarik padanya? Apa yang membuat kalian bertahan sampai sejauh ini."
"Karena kami saling mengisi. Aku anak manja dan dia mau mengikuti segala racauanku."
Lana tersenyum, "Jadi, mulailah dari sana Karlyshia. Mulailah dengan kompromi. Berkompromi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada diantara kalian. Tidak ada pasangan yang benar-benar cocok dan sempurna 100%. Tapi, mulailah dari saling menghargai dan berkompromi. Kalian saling tertarik karena saling mengisi."
"Ah, ya, mungkin kau benar. Aku hanya perlu sedikit berkompromi..."

"Menikah tidak pernah mudah, tapi bisa selalu diusahakan untuk menjadi lebih baik, setiap hari. Aku, hanya memulai dari sesuatu yang sangat sederhana. Kompromi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar