Foto #ARIAH diambil dari sini |
Kira-kira begitulah tweet pujian saya untuk tim produser Matah Ati yang (menurut saya) sekali lagi sukses membawa seni pertunjukan dengan konsep baru di Indonesia. Saya masih ingat, tahun lalu ketika (akhirnya) saya berkesempatan menyaksikan Matah Ati di Teater Jakarta, saya dibuat terpukau dengan konsep panggung "miring" dan seni tari berbalut cerita Jawa yang tersaji apik. Jadi, ketika saya tahu tentang ARIAH, detik itu juga saya tahu bahwa saya pasti akan menyesal kalau sampai melewatkannya.
Berpikir untuk datang dan menghabiskan malam minggu di Monas, jelas bukan pilihan untuk saya yang sebenarnya tidak terlalu suka keramaian. Hal pertama yang terlintas di benak saya ketika tahu lokasinya di Monas, "Waduh, pasti macet nih parkirnya." Tetapi beruntunglah saya menemukan solusi lain yang patut saya syukuri. Alih-alih parkir di IRTI, seperti yang disarankan pemilik acara, saya memilih parkir di Wisma Antara. Dan benar saja, ketika saya jalan menuju dan pulang dari lokasi pertunjukan, macetnya bukan kepalang.
Dari sisi penceritaan, saya setuju dengan beberapa opini yang bertebaran di twitter. Ceritanya klise dan kurang menggigit. Kalau mau dibandingkan dengan Matah Ati, cerita Ariah seperti kurang riset dan hanya dibuat apa adanya. Tetapi, saya pun maklum, dengan durasi hanya 90 menit dan mengingat ini pertunjukan kolosal, tentu sulit untuk merangkai cerita yang 'padat berisi' sekaligus harus mudah dipahami oleh orang dari berbagai kalangan dengan beragam latar belakang suku, usia, pekerjaan dan pendidikan. Apalagi dari booklet yang saya baca, Ibu Atilah mempersiapkan pertunjukan ini hanya dalam waktu 5 bulan. Jadi, jangan bandingkan dengan Matah Ati yang dipersiapkan selama 2,5 tahun.
Terlepas dari cerita yang 'apa adanya', saya sebenarnya menyayangkan kenapa MC pembuka acara tidak memberikan perkenalan yang cukup. Maksud saya, biasanya hampir di seluruh pertunjukan drama tari musikal yang saya tonton, ada introduction atau garis besar cerita yang akan dipentaskan. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan ya supaya penonton paling tidak paham mengenai alur cerita. Kenapa? Karena tidak semua orang mau atau sempat membaca booklet yang dibagikan. Kalaupun berniat membaca, beberapa orang asing (seperti mas bule fotografer di sebelah saya) tidak paham bahasa Indonesia, yang kebetulan di booklet juga tidak ada versi bahasa Inggrisnya. Well, kalau event ini akan menjadi rutin dan bisa 'dijual' jadi obyek wisata baru, they must improve this :)
Catatan lainnya, ketika penampilan Tari Topeng oleh Ariah dan kawan-kawan yang seyogyanya mempertontonkan betapa memesonanya Ariah terasa kurang maksimal. Bahkan dari tempat saya duduk di kelas 1, yang katanya berjarak 50-60 meter dari panggung, formasi antarpenari masih terlalu dekat. Kurang renggang. Dan itu membuat gerakan Tari Topeng jadi kurang terekspos dengan baik. Bahkan suami saya yang (biasanya) tidak mengerti menonton tarian juga berkomentar hal yang sama. Sayang, padahal durasinya cukup lama.
Namun, saya harus memberikan apresiasi tertinggi kepada penata artistik pertunjukan ini, Jay Subiakto. Berkat kepiawaiannya panggung sebesar 70 x 48 m dengan tiga level ketinggian yaitu 3, 7 dan 10 meter benar-benar tampak megah di kaki Tugu Monas. Tidak cukup dengan komposisi panggung miring yang ribet, permainan lighting dan video mapping benar-benar membuat saya bangga bahwa Indonesia ternyata bisa membuat pertunjukan sehebat ini. Sempat juga sih terpikir, kira-kira berapa ribu watt listrik yang dikonsumsi untuk menghidupkan lampu sorot yang jumlahnya (tebakan saya sih) >10 buah? :p
Saya mungkin tidak bisa berkomentar terlalu banyak mengenai musik. Buat saya, 120 orang musisi bermain live adalah sesuatu yang luar biasa. Aransemen musiknya terdengar cukup pas di telinga saya walupun pada beberapa adegan sedih, nadanya terasa kurang improvisasi. Jadi, yang terdengar musik yang itu lagi dan lagi. But still, two thumbs up for Erwin Gutawa as an arranger.
Koreografi yang ditampilkan juga membuat saya kagum. Posisi mendek (lutut ditekuk, jadi setengah berdiri setengah jongkok) di panggung datar saja sudah cukup membuat capek, apalagi di panggung miring. Salut dengan stamina para penari, yang katanya jumlahnya mencapai 200 orang, karena menari di panggung miring sambil harus berlarian dari sisi panggung yang satu sampai ujung sisi yang lain pasti menghabiskan banyak energi.
Kalau ditanya desain pakaian para pemain, saya agak susah menjawab. Posisi penonton yang jauh dari panggung tidak memungkinkan memerhatikan detail pakaian, kecuali pakaian si saudagar kaya yang agak terlalu berlebihan. Menurut saya, daripada menggambarkan sosok saudagar yang kaya raya, jubah yang dipakai lebih mirip tokoh panglima perang dari Cina/Mongolia (lupa namanya jenderal siapa :p). My bad, please forgive my opinion :D
Sampai di bagian akhir pertunjukan. Jujur, ending adalah bagian yang paling mengecewakan. Buat saya, ending-nya antiklimaks atau tidak jelas bagaimana akhirnya sampai saya membaca sinopsis di booklet. Ditambah lagi (dan lagi), ketika para penari dan pemain muncul kembali satu per satu di panggung dengan maksud berpamitan, tidak ada MC yang menyebutkan nama-nama mereka. Penonton pun kebingungan dan bertanya-tanya, "Oh, show-nya sudah selesai ya?" Akibatnya, penonton bertepuk tangan setengah hati dan setelah saya tengok kanan-kiri hanya ada beberapa orang yang standing dengan maksud memberikan apreasiasi terbaik. Oh, tapi tenang, saya termasuk salah satu yang berdiri (awalnya hanya satu-satunya di deretan saya) dan akhirnya aksi saya diikuti beberapa penonton yang lain.
Overall, i enjoyed the show. Walaupun saya mengkritik disini dan disana, tetapi saya tetap terhibur. Terima kasih untuk produser Matah Ati yang sudah membuat pertunjukan yang lain daripada yang lain. Dan (dengan agak terpaksa karena saya tidak suka memihak) saya menyampaikan terima kasih kepada Pak Jokowi yang sudah memungkinkan digelarnya pertunjukan ini. Love it! ^_^
;D saya juga bikin review ariah di blog tapi gak sekeren kamu! hehhehee. belum bisa move on dari ariah nih.
BalasHapusTerima kasih sudah membaca. Hihii..sama, belum bisa move on juga :D
Hapus120 orang musisi bermain live itu secara bersamaan gak?, pasti keren itu kalau bebarengan :)
BalasHapusbaca ceritanya jadi ngiler pengen lihat videonya :(