Aku berjengit
ketika jendela kaca mobilku diketuk. Mama sudah berdiri di samping pintu mobil
dengan wajah khawatir. Aku tersenyum tipis dan segera membuka pintu.
“Kamu sakit,
Nak? Kenapa sedari tadi kamu tidak juga masuk? Kamu sudah sepuluh menit lho diam begitu di mobil.” Mama bertanya
sambil memegang dahiku. “Kamu lemas ya? Darah rendahmu kumat?” Aku masih diam
tak menjawab ketika mama menggamit lenganku, berniat memapahku masuk rumah.
“Nggak, Ma.
Dara baik-baik saja. Tadi cuma sekedar melepas penat saja. Jangan khawatir begitu
dong. Yuk, kita masuk.” Aku merangkul
sayang bahu mama sambil tersenyum. Usia mama memang sudah tidak muda lagi, tapi
pesona kecantikannya tidak pernah pudar. Aku sayang sekali padanya. Walaupun
beliau juga sering membuatku kesal karena desakannya supaya segera menikah, dia
tetap orang yang paling kusegani. Tempatku mengadu ketika aku terjatuh dan
merasa tak punya daya untuk bangun.
Aku
memerhatikan tangannya yang dengan telaten menyiapkan teh manis hangat untukku.
Tidak pernah kuminta, tetapi selalu beliau siapkan setiap aku berangkat dan
pulang kerja. “Kamu harus banyak minum manis, Dara. Kamu ingat kan kalau punya darah rendah? Jangan
sampai kamu pingsan saat sedang beraktivitas dan membuat panik orang di
sekitarmu.”
“Iya, Ma. Dara
tidak sedang lemas kok. Tadi hanya kebetulan saja sedang tanggung mendengarkan
lagu yang diputar di mobil. Jadi ya diam dulu sampai lagunya habis.” Aku
berusaha mencari alasan agar tidak membuatnya khawatir lagi.
Mama melirikku
gelisah. Aku menangkap sinyal itu. Beliau pasti ingin menanyakan kabar
pertemuanku dengan Harsa siang tadi. Aku sengaja diam saja, pura-pura tidak
tahu sambil terus menikmati tehku.
“Mbak, tadi
bagaimana?” Akhirnya mama bertanya juga.
“Bagaimana
apanya?” Aku menahan senyumku dan masih berlagak tak mengerti.
“Tadi siang
jadi ketemu dengan anaknya Bu Tris kan?” tanyanya penasaran.
“Jadi,” jawabku
singkat sambil terus mengulum senyum yang dibalas dengan cibiran kesal mama.
“Cerita dong,
gimana tadi? Anaknya Bu Tris ganteng ya, Mbak? Mama sudah pernah ketemu sekali
waktu anaknya itu sedang menjemput Bu Tris di acara pengajian dua minggu lalu.
Sopan dan ramah sekali. Mama mau deh punya mantu kayak gitu,” kata mama sambil
menerawang yang justru membuatku terbelalak.
“Duh, Mama
mimpinya tinggi amat. Belum tentu Dara cocok sama dia. Belum tentu juga dianya
mau sama Dara.” Aku berusaha menurunkan harapan mama. Bukannya apa-apa, kalau
yang ini sampai gagal juga, pasti beliau sedih sekali.
“Makanya kamu
jadi orang yang lebih sabar dong.
Tidak baik kalau wanita itu terlalu ambisius dan keras kepala seperti kamu.
Apalagi kalau sedang marah, kamu bisa teriak-teriak histeris begitu. Bikin
takut yang mau dekat sama kamu. Wanita itu sudah kodratnya lebih sabar dan
lemah lembut. Harus tetap pintar dan mandiri, tetapi halus sikap dan tutur
bahasanya.”
“Iya, Ma. Dara
janji mau belajar lebih sabar dan gak judes lagi.”
“Benar ya, Nak.
Kata-kata mama didengarkan, jangan cuma masuk kuping kanan terus keluar kiri.
Umurmu sudah tidak muda. Sudah seharusnya menjadi lebih sabar dan anggun.” Mata
mama menatapku tajam. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“Iya, Mama
sayang. Sudah ya. Dara ke kamar dulu. Terima kasih tehnya, Mama sayang.” Aku
beranjak dari kursi sambil mencium pipi mama lembut.
Baru setengah
jalan menuju kamar, kudengar mama berteriak memanggilku. “Lho, Dara, kok kabur sih? Itu tadi belum jadi cerita gimana
ketemuannya?.” Aku tersenyum dan menyahut cepat, “Besok aja ya, Ma, ceritanya,
Dara capek banget tadi habis meeting.” Tidak kudengar lagi sahutan
mama. Aku yakin beliau masih menggerutu tetapi tidak berusaha menahanku lebih
lama.
Mataku masih
menatap nyalang ke langit-langit kamar. Resah berguling ke kanan dan kiri demi
memikirkan tawaran Harsa. Tidak tampak seperti tawaran karena dia sepertinya
tidak peduli dengan pendapatku dan malah memaksaku mengikuti maunya. Sebenarnya
aku takut. Bagaimana kalau proses pendekatan ini tidak berhasil?
Pendekatan
dalam waktu 30 hari itu terbilang singkat mengingat biasanya aku hanya bisa
pacaran dengan orang yang sudah lama kenal denganku. Orang baru biasanya akan
langsung menyingkir, tidak tahan dengan sikapku yang galak. Hanya orang yang
sudah kenal dekat denganku saja yang paham bahwa aku tidak sekeras apa yang
kutampilkan. Itu hanya samaran supaya aku tidak dianggap lemah. Aku hanya tidak
ingin Harsa kaget. Aku sebenarnya ingin memulainya pelan-pelan. Pikirku masih
melanglang ketika sebuah pesan singkat melalui WhatsApp mengusikku.
Sebagai langkah awal proses pendekatan,
sebaiknya kita berusaha saling bertemu setiap hari. Dan itu dimulai dengan
lunch bareng besok siang. Kebetulan besok aku ada meeting di dekat kantormu.
Kita cari makan di SCBD saja. How? –Harsa-
Aku tidak
segera membalas pesan itu. Berbagai pertanyaan berputar di kepalaku, memangnya
dia tahu kantorku? Seingatku tadi kami bahkan belum sempat bercerita tentang
pekerjaan masing-masing, apalagi sampai tahu alamat kantor.
Aku bergegas
keluar kamar. Beruntung mama belum tidur dan masih menonton di ruang keluarga
bersama papa. Aku langsung menghempaskan diri di sofa. “Ma, Mama cerita apa
saja sama Bu Tris?”
Mama mengernyit
mendengar pertanyaanku, “Cerita yang biasa saja, bilang kalau mama punya putri
yang belum menikah. Kebetulan Bu Tris juga sedang mencari calon untuk anaknya,
jadi ya kami coba tawarkan ke kalian apa mau kenalan? Sudah. Begitu saja.”
“Mama bilang
pekerjaan dan kantorku ada dimana?” tanyaku.
“Tidak secara
spesifik sih. Hanya bilang kalau kamu sudah kerja dan berkantor di Sudirman.
Kenapa sayang?”
“Mama yakin
Cuma bilang begitu saja?” kejarku masih belum puas.
“Iya, begitu
saja. Memang kamu maunya Mama bilang apa? Bukannya kamu tidak suka kalau Mama
cerita terlalu banyak tentang kamu?” jelasnya.
“Iya, sih. Ya
sudah. Selamat istirahat, Ma, Pa. Dara balik ke kamar ya,” kataku singkat.
Di kamar aku
masih termenung sampai sebuah pesan masuk lagi ke ponselku.
‘Kamu sudah baca pesanku tapi tidak dijawab?
Please kabari aku secepatnya, supaya aku bisa atur jadwal besok siang. Have a
nice dream, Dara.’
===============
Catatan hari ke-4:
Sesuai dengan topik #NulisRandom2015 maka cerita ini saya buat benar-benar tanpa kerangka atau penokohan. Ini adalah cerita fiksi dimana saya membebaskan imajinasi saya dan membiarkan alurnya mengalir tanpa pola. Proses pembuatannya pun cepat, kadang tanpa saya edit lagi. Jadi, mohon masukan dan kritiknya kalau memang ada kesalahan atau ceritanya terasa aneh. Please enjoy ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar