Halaman

4 Jun 2015

Dara: Checkin' Off The List



Aku berjengit ketika jendela kaca mobilku diketuk. Mama sudah berdiri di samping pintu mobil dengan wajah khawatir. Aku tersenyum tipis dan segera membuka pintu.
“Kamu sakit, Nak? Kenapa sedari tadi kamu tidak juga masuk? Kamu sudah sepuluh menit lho diam begitu di mobil.” Mama bertanya sambil memegang dahiku. “Kamu lemas ya? Darah rendahmu kumat?” Aku masih diam tak menjawab ketika mama menggamit lenganku, berniat memapahku masuk rumah.
“Nggak, Ma. Dara baik-baik saja. Tadi cuma sekedar melepas penat saja. Jangan khawatir begitu dong. Yuk, kita masuk.” Aku merangkul sayang bahu mama sambil tersenyum. Usia mama memang sudah tidak muda lagi, tapi pesona kecantikannya tidak pernah pudar. Aku sayang sekali padanya. Walaupun beliau juga sering membuatku kesal karena desakannya supaya segera menikah, dia tetap orang yang paling kusegani. Tempatku mengadu ketika aku terjatuh dan merasa tak punya daya untuk bangun.
Aku memerhatikan tangannya yang dengan telaten menyiapkan teh manis hangat untukku. Tidak pernah kuminta, tetapi selalu beliau siapkan setiap aku berangkat dan pulang kerja. “Kamu harus banyak minum manis, Dara. Kamu ingat kan kalau punya darah rendah? Jangan sampai kamu pingsan saat sedang beraktivitas dan membuat panik orang di sekitarmu.”
“Iya, Ma. Dara tidak sedang lemas kok. Tadi hanya kebetulan saja sedang tanggung mendengarkan lagu yang diputar di mobil. Jadi ya diam dulu sampai lagunya habis.” Aku berusaha mencari alasan agar tidak membuatnya khawatir lagi.
Mama melirikku gelisah. Aku menangkap sinyal itu. Beliau pasti ingin menanyakan kabar pertemuanku dengan Harsa siang tadi. Aku sengaja diam saja, pura-pura tidak tahu sambil terus menikmati tehku.
“Mbak, tadi bagaimana?” Akhirnya mama bertanya juga.
“Bagaimana apanya?” Aku menahan senyumku dan masih berlagak tak mengerti.
“Tadi siang jadi ketemu dengan anaknya Bu Tris kan?” tanyanya penasaran.
“Jadi,” jawabku singkat sambil terus mengulum senyum yang dibalas dengan cibiran kesal mama.
“Cerita dong, gimana tadi? Anaknya Bu Tris ganteng ya, Mbak? Mama sudah pernah ketemu sekali waktu anaknya itu sedang menjemput Bu Tris di acara pengajian dua minggu lalu. Sopan dan ramah sekali. Mama mau deh punya mantu kayak gitu,” kata mama sambil menerawang yang justru membuatku terbelalak.
“Duh, Mama mimpinya tinggi amat. Belum tentu Dara cocok sama dia. Belum tentu juga dianya mau sama Dara.” Aku berusaha menurunkan harapan mama. Bukannya apa-apa, kalau yang ini sampai gagal juga, pasti beliau sedih sekali.
“Makanya kamu jadi orang yang lebih sabar dong. Tidak baik kalau wanita itu terlalu ambisius dan keras kepala seperti kamu. Apalagi kalau sedang marah, kamu bisa teriak-teriak histeris begitu. Bikin takut yang mau dekat sama kamu. Wanita itu sudah kodratnya lebih sabar dan lemah lembut. Harus tetap pintar dan mandiri, tetapi halus sikap dan tutur bahasanya.”
“Iya, Ma. Dara janji mau belajar lebih sabar dan gak judes lagi.”
“Benar ya, Nak. Kata-kata mama didengarkan, jangan cuma masuk kuping kanan terus keluar kiri. Umurmu sudah tidak muda. Sudah seharusnya menjadi lebih sabar dan anggun.” Mata mama menatapku tajam. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“Iya, Mama sayang. Sudah ya. Dara ke kamar dulu. Terima kasih tehnya, Mama sayang.” Aku beranjak dari kursi sambil mencium pipi mama lembut.
Baru setengah jalan menuju kamar, kudengar mama berteriak memanggilku. “Lho, Dara, kok kabur sih? Itu tadi belum jadi cerita gimana ketemuannya?.” Aku tersenyum dan menyahut cepat, “Besok aja ya, Ma, ceritanya, Dara capek banget tadi habis meeting.” Tidak kudengar lagi sahutan mama. Aku yakin beliau masih menggerutu tetapi tidak berusaha menahanku lebih lama.
Mataku masih menatap nyalang ke langit-langit kamar. Resah berguling ke kanan dan kiri demi memikirkan tawaran Harsa. Tidak tampak seperti tawaran karena dia sepertinya tidak peduli dengan pendapatku dan malah memaksaku mengikuti maunya. Sebenarnya aku takut. Bagaimana kalau proses pendekatan ini tidak berhasil?
Pendekatan dalam waktu 30 hari itu terbilang singkat mengingat biasanya aku hanya bisa pacaran dengan orang yang sudah lama kenal denganku. Orang baru biasanya akan langsung menyingkir, tidak tahan dengan sikapku yang galak. Hanya orang yang sudah kenal dekat denganku saja yang paham bahwa aku tidak sekeras apa yang kutampilkan. Itu hanya samaran supaya aku tidak dianggap lemah. Aku hanya tidak ingin Harsa kaget. Aku sebenarnya ingin memulainya pelan-pelan. Pikirku masih melanglang ketika sebuah pesan singkat melalui WhatsApp mengusikku.
Sebagai langkah awal proses pendekatan, sebaiknya kita berusaha saling bertemu setiap hari. Dan itu dimulai dengan lunch bareng besok siang. Kebetulan besok aku ada meeting di dekat kantormu. Kita cari makan di SCBD saja. How? –Harsa-
Aku tidak segera membalas pesan itu. Berbagai pertanyaan berputar di kepalaku, memangnya dia tahu kantorku? Seingatku tadi kami bahkan belum sempat bercerita tentang pekerjaan masing-masing, apalagi sampai tahu alamat kantor.
Aku bergegas keluar kamar. Beruntung mama belum tidur dan masih menonton di ruang keluarga bersama papa. Aku langsung menghempaskan diri di sofa. “Ma, Mama cerita apa saja sama Bu Tris?”
Mama mengernyit mendengar pertanyaanku, “Cerita yang biasa saja, bilang kalau mama punya putri yang belum menikah. Kebetulan Bu Tris juga sedang mencari calon untuk anaknya, jadi ya kami coba tawarkan ke kalian apa mau kenalan? Sudah. Begitu saja.”
“Mama bilang pekerjaan dan kantorku ada dimana?” tanyaku.
“Tidak secara spesifik sih. Hanya bilang kalau kamu sudah kerja dan berkantor di Sudirman. Kenapa sayang?”
“Mama yakin Cuma bilang begitu saja?” kejarku masih belum puas.
“Iya, begitu saja. Memang kamu maunya Mama bilang apa? Bukannya kamu tidak suka kalau Mama cerita terlalu banyak tentang kamu?” jelasnya.
“Iya, sih. Ya sudah. Selamat istirahat, Ma, Pa. Dara balik ke kamar ya,” kataku singkat.
Di kamar aku masih termenung sampai sebuah pesan masuk lagi ke ponselku.
‘Kamu sudah baca pesanku tapi tidak dijawab? Please kabari aku secepatnya, supaya aku bisa atur jadwal besok siang. Have a nice dream, Dara.’
===============

Catatan hari ke-4:
Sesuai dengan topik #NulisRandom2015 maka cerita ini saya buat benar-benar tanpa kerangka atau penokohan. Ini adalah cerita fiksi dimana saya membebaskan imajinasi saya dan membiarkan alurnya mengalir tanpa pola. Proses pembuatannya pun cepat, kadang tanpa saya edit lagi. Jadi, mohon masukan dan kritiknya kalau memang ada kesalahan atau ceritanya terasa aneh. Please enjoy ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar