Nama
panggilannya Dara. Dia manis. Dia bukan model, jadi jangan bayangkan perawakan
tinggi semampai dengan rambut hitam dan cantik luar biasa yang membuat kami, para
Adam, akan segera menengok jika dia ada di sekitar. Dia sungguh sangat biasa. Tingginya
hanya rata-rata wanita Indonesia, berat proporsional, rambut highlight dark brown dengan potongan bob sebahu, wajahnya hanya dipulas bedak
dan lipstick tipis dengan penampilan casual.
Sama sekali tidak mencolok.
Aku sudah
mengamatinya sejak lima menit lalu. Sengaja tidak masuk ke dalam kafe tapi
memandangnya dari samping jendela luar. Dia lumayan tenang, asyik sendiri
dengan tablet di pangkuannya. Tidak
mengetik atau bermain game,
tebakanku, mungkin mengecek email
saja. Dia tidak menghubungi ponselku, padahal aku sudah terlambat 15 menit.
Apakah dia tipe wanita yang tidak perhatian dengan kekasihnya nanti? Aku
mendengus. Itu yang harus aku cari tahu.
Baru beberapa
menit dan kami sudah mulai tegang hanya karena menu pilihanku. Gosh! Masa dia tersinggung hanya karena
aku memilih menu yang sama dengannya? Dan apa katanya, mengetes seleranya? Huh,
dasar wanita! Buat apa aku mengetes seleranya makannya. Tidak penting.
“Kamu berapa
bersaudara?” Pertanyaan bodoh macam apa itu. Otakku yang memiliki IQ diatas
rata-rata ini mendadak tidak mau diajak berpikir kreatif. Aku memang ingin
mengobrol dengannya, tetapi yang tercetus justru pertanyaan tidak berbobot itu.
Alisnya sedikit
naik mendengar pertanyaanku, “Aku hanya berdua. Aku punya adik perempuan.” Oh,
jadi dia anak sulung, pantas saja sikapnya setengah bossy. “Beda berapa tahun dengan adikmu?” Kepalang tanggung,
kuteruskan saja proses perkenalan ini pelan-pelan.
“Kami beda lima
tahun. Dia baru lulus, baru akan mulai bekerja minggu depan.” Intonasinya tegas
saat menjawab pertanyaanku. Matanya tajam dan menatap tepat ke mataku. Menarik.
Aku suka wanita yang berani macam dia. Mungkin, dia memang bisa menjadi
penyeimbangku.
“Enak?”
tanyanya. Aku menghabiskan kunyahan di mulutku sebelum menjawab, “Yup. Oke
saja.” Dara menyipitkan matanya, “Enak karena kamu memang lapar? Atau taste-nya menurutmu enak?” Kejarnya
lagi.
Aku terkekeh. “Aku
sudah bilang tadi, aku bukan pemilih soal makanan. Rasanya memang enak, paling
tidak cocok dengan lidahku. Tapi, ya, aku memang lapar juga. Apakah jawabanku
cukup memuaskanmu, nona?” Kalau hubunganku bertahan lama dengannya, sepertinya
aku harus mulai membiasakan diri dengan pertanyaan-pertanyaan Dara yang seolah
tak pernah habis.
“Yah,
setidaknya pilihan tempat dan menu makanku masih bisa dinikmati. Semoga kamu
tidak kecewa,” katanya sambil menunduk ke piring makannya.
“Dara, sejak
tadi, tidak sepatah kata pun aku menyatakan ketidaksetujuan atau kekecewaan
pada pilihanmu. Kenapa kamu begitu memusingkan reaksiku?” cecarku.
Kudengar dia
mendesah, “Cuma takut kamu kecewa. Ini pertemuan pertama kita.”
Aku terkikik
dalam hati. Dia kuat, tapi juga rapuh. “Kamu begitu inginnya memberikan kesan
yang baik padaku, ya? Kenapa? Dikejar target menikah?” Sial! Aku langsung
mengutuki kebodohanku yang bertanya terlalu to
the point.
Kulihat Dara
tergagap. Wajahnya tegang dengan percik marah di matanya. Salah omong bisa
menyebabkan ketidakjelasan pada masa depanmu. Itu tagline yang cocok untukku sekarang. Sok sekali aku menghakiminya
seperti itu. Bahkan sebelum kisah kami dimulai.
“Sorry! That’s rude. Aku gak maksud
menyinggung,” kataku merasa bersalah.
Dia masih diam.
Bahasa tubuhnya mencerminkan kalau Dara berusaha keras menahan diri. Ada senyum
tipis yang dipaksakan ketika dia menjawab lugas, “Kalau ya, memangnya kenapa?
Bukannya kamu juga sama? Itu sebabnya kamu ada disini bukan?”
“Ya. Kita sama,
dikejar target menikah oleh orang tua. Kupikir kita harus berdiskusi soal itu
sekarang,” kataku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, selagi gayung
bersambut.
“Apa yang harus
didiskusikan? Bukannya kita sekedar berkenalan saja sekarang, menuruti titah
para ibu suri.” Dahinya mengernyit lagi. Lama-lama aku suka melihat ekspresinya
yang serba serius begitu.
“Aku sudah
capek dikejar pertanyaan ‘kapan nikah’ oleh banyak orang. Aku sudah mulai malas
dengan usaha perjodohan yang dilakukan ibuku. Well, jadi, sekali ini aku ingin berniat serius. Kita buat
perjanjian.”
“Perjanjian apa?”
tanya Dara dengan muka bingung.
“Kita tetapkan
batas waktu untuk usaha pendekatan. Pernah menonton film ’30 Hari Mencari Cinta’?
Nah, kita buat saja ’30 Hari Pendekatan’ versi kita.” Dia masih tidak bereaksi
sementara aku menanti was-was.
Lalu terdengarlah
rentetan kata-katanya, “Kamu pikir kita sedang main-main? Harsa, dengar ya, aku
sama kesalnya denganmu ketika semua orang merecokiku pasal menikah. Tapi, aku
tidak pernah bermain-main urusan hati. Meskipun dengan berat hati, aku tetap
datang ke sini demi menghormati mamaku dan ibumu. Dan sekarang kamu menawarkan
perjanjian seperti main-main?”
Dalam hati aku
menertawakan situasi ini. Seorang Harsa yang disegani di kantor karena
kepintaran dan posisinya, kini dimarahi oleh seorang wanita yang bahkan baru
dikenalnya beberapa menit. Aku mengatur napas. Sementara otakku bekerja keras
merangkai kata dalam bahasa paling halus untuk menenangkan si putri marah. Ah,
belum-belum aku sudah memberikannya julukan.
“Dara, calm down.” Aku mengelus lembut punggung
tangannya yang langsung ditariknya. Dia mendadak bisu. Gelisah. Tapi tidak
menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari tempat duduknya. Thank God! Berarti dia masih bersedia
mendengarkan alasanku.
“Kita berdua
sama-sama dikejar keluarga untuk segera menikah. Kita berdua sama-sama
menghormati titah ibu suri, katamu, makanya kita bersedia untuk ke sini dan
berkenalan. Aku ingin serius, kuharap kamu juga. Kalau dari pertemuan pertama
saja kita sudah langsung say ‘No’,
mungkin sampai balik ke zaman Flinstones kita masih belum menikah juga.
Makanya, mari kita sama-sama berusaha selama 30 hari untuk PDKT. Apa pun yang
terjadi setelah itu, kita putuskan nanti, yang penting kita sama-sama berusaha,
dengan sungguh-sungguh, saling mengenal.” Aku terengah-engah setelah berbicara
panjang lebar. Ini ternyata lebih melelahkan daripada menjadi pembicara seminar
sehari.
Makhluk manis
di depanku tampak sedang berpikir serius. Alis mengkerut dengan bibir yang
mengerucut membuatnya tampak menggemaskan. Auranya kuat sekali. Kutub magnetku
seperti ditarik paksa mendekat padanya. Please
say ‘Yes’ untuk tawaranku, dan kupastikan kamu jatuh cinta padaku. Tekadku.
=================
Catatan hari ke-2:
Saya tidak pernah menulis dari POV laki-laki. Kenapa? Karena saya perempuan dan saya tidak paham dengan pola berpikir pria. Saya tidak berani ambil risiko salah, sampai hari ini. Saya ingin mencoba berbicara dari sudut pandang laki-laki. Kalau tidak sesuai, mohon masukannya. At least, saya mencoba keluar dari zona nyaman :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar