Halaman

2 Jun 2015

Harsa: To Fall In Love




Nama panggilannya Dara. Dia manis. Dia bukan model, jadi jangan bayangkan perawakan tinggi semampai dengan rambut hitam dan cantik luar biasa yang membuat kami, para Adam, akan segera menengok jika dia ada di sekitar. Dia sungguh sangat biasa. Tingginya hanya rata-rata wanita Indonesia, berat proporsional, rambut highlight dark brown dengan potongan bob sebahu, wajahnya hanya dipulas bedak dan lipstick tipis dengan penampilan casual. Sama sekali tidak mencolok.
Aku sudah mengamatinya sejak lima menit lalu. Sengaja tidak masuk ke dalam kafe tapi memandangnya dari samping jendela luar. Dia lumayan tenang, asyik sendiri dengan tablet di pangkuannya. Tidak mengetik atau bermain game, tebakanku, mungkin mengecek email saja. Dia tidak menghubungi ponselku, padahal aku sudah terlambat 15 menit. Apakah dia tipe wanita yang tidak perhatian dengan kekasihnya nanti? Aku mendengus. Itu yang harus aku cari tahu.
Baru beberapa menit dan kami sudah mulai tegang hanya karena menu pilihanku. Gosh! Masa dia tersinggung hanya karena aku memilih menu yang sama dengannya? Dan apa katanya, mengetes seleranya? Huh, dasar wanita! Buat apa aku mengetes seleranya makannya. Tidak penting.
“Kamu berapa bersaudara?” Pertanyaan bodoh macam apa itu. Otakku yang memiliki IQ diatas rata-rata ini mendadak tidak mau diajak berpikir kreatif. Aku memang ingin mengobrol dengannya, tetapi yang tercetus justru pertanyaan tidak berbobot itu.
Alisnya sedikit naik mendengar pertanyaanku, “Aku hanya berdua. Aku punya adik perempuan.” Oh, jadi dia anak sulung, pantas saja sikapnya setengah bossy. “Beda berapa tahun dengan adikmu?” Kepalang tanggung, kuteruskan saja proses perkenalan ini pelan-pelan.
“Kami beda lima tahun. Dia baru lulus, baru akan mulai bekerja minggu depan.” Intonasinya tegas saat menjawab pertanyaanku. Matanya tajam dan menatap tepat ke mataku. Menarik. Aku suka wanita yang berani macam dia. Mungkin, dia memang bisa menjadi penyeimbangku.
“Enak?” tanyanya. Aku menghabiskan kunyahan di mulutku sebelum menjawab, “Yup. Oke saja.” Dara menyipitkan matanya, “Enak karena kamu memang lapar? Atau taste-nya menurutmu enak?” Kejarnya lagi.
Aku terkekeh. “Aku sudah bilang tadi, aku bukan pemilih soal makanan. Rasanya memang enak, paling tidak cocok dengan lidahku. Tapi, ya, aku memang lapar juga. Apakah jawabanku cukup memuaskanmu, nona?” Kalau hubunganku bertahan lama dengannya, sepertinya aku harus mulai membiasakan diri dengan pertanyaan-pertanyaan Dara yang seolah tak pernah habis.
“Yah, setidaknya pilihan tempat dan menu makanku masih bisa dinikmati. Semoga kamu tidak kecewa,” katanya sambil menunduk ke piring makannya.
“Dara, sejak tadi, tidak sepatah kata pun aku menyatakan ketidaksetujuan atau kekecewaan pada pilihanmu. Kenapa kamu begitu memusingkan reaksiku?” cecarku.
Kudengar dia mendesah, “Cuma takut kamu kecewa. Ini pertemuan pertama kita.”
Aku terkikik dalam hati. Dia kuat, tapi juga rapuh. “Kamu begitu inginnya memberikan kesan yang baik padaku, ya? Kenapa? Dikejar target menikah?” Sial! Aku langsung mengutuki kebodohanku yang bertanya terlalu to the point.
Kulihat Dara tergagap. Wajahnya tegang dengan percik marah di matanya. Salah omong bisa menyebabkan ketidakjelasan pada masa depanmu. Itu tagline yang cocok untukku sekarang. Sok sekali aku menghakiminya seperti itu. Bahkan sebelum kisah kami dimulai.
Sorry! That’s rude. Aku gak maksud menyinggung,” kataku merasa bersalah.
Dia masih diam. Bahasa tubuhnya mencerminkan kalau Dara berusaha keras menahan diri. Ada senyum tipis yang dipaksakan ketika dia menjawab lugas, “Kalau ya, memangnya kenapa? Bukannya kamu juga sama? Itu sebabnya kamu ada disini bukan?”
“Ya. Kita sama, dikejar target menikah oleh orang tua. Kupikir kita harus berdiskusi soal itu sekarang,” kataku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, selagi gayung bersambut.
“Apa yang harus didiskusikan? Bukannya kita sekedar berkenalan saja sekarang, menuruti titah para ibu suri.” Dahinya mengernyit lagi. Lama-lama aku suka melihat ekspresinya yang serba serius begitu.
“Aku sudah capek dikejar pertanyaan ‘kapan nikah’ oleh banyak orang. Aku sudah mulai malas dengan usaha perjodohan yang dilakukan ibuku. Well, jadi, sekali ini aku ingin berniat serius. Kita buat perjanjian.”
“Perjanjian apa?” tanya Dara dengan muka bingung.
“Kita tetapkan batas waktu untuk usaha pendekatan. Pernah menonton film ’30 Hari Mencari Cinta’? Nah, kita buat saja ’30 Hari Pendekatan’ versi kita.” Dia masih tidak bereaksi sementara aku menanti was-was.
Lalu terdengarlah rentetan kata-katanya, “Kamu pikir kita sedang main-main? Harsa, dengar ya, aku sama kesalnya denganmu ketika semua orang merecokiku pasal menikah. Tapi, aku tidak pernah bermain-main urusan hati. Meskipun dengan berat hati, aku tetap datang ke sini demi menghormati mamaku dan ibumu. Dan sekarang kamu menawarkan perjanjian seperti main-main?”
Dalam hati aku menertawakan situasi ini. Seorang Harsa yang disegani di kantor karena kepintaran dan posisinya, kini dimarahi oleh seorang wanita yang bahkan baru dikenalnya beberapa menit. Aku mengatur napas. Sementara otakku bekerja keras merangkai kata dalam bahasa paling halus untuk menenangkan si putri marah. Ah, belum-belum aku sudah memberikannya julukan.
“Dara, calm down.” Aku mengelus lembut punggung tangannya yang langsung ditariknya. Dia mendadak bisu. Gelisah. Tapi tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari tempat duduknya. Thank God! Berarti dia masih bersedia mendengarkan alasanku.
“Kita berdua sama-sama dikejar keluarga untuk segera menikah. Kita berdua sama-sama menghormati titah ibu suri, katamu, makanya kita bersedia untuk ke sini dan berkenalan. Aku ingin serius, kuharap kamu juga. Kalau dari pertemuan pertama saja kita sudah langsung say ‘No’, mungkin sampai balik ke zaman Flinstones kita masih belum menikah juga. Makanya, mari kita sama-sama berusaha selama 30 hari untuk PDKT. Apa pun yang terjadi setelah itu, kita putuskan nanti, yang penting kita sama-sama berusaha, dengan sungguh-sungguh, saling mengenal.” Aku terengah-engah setelah berbicara panjang lebar. Ini ternyata lebih melelahkan daripada menjadi pembicara seminar sehari.
Makhluk manis di depanku tampak sedang berpikir serius. Alis mengkerut dengan bibir yang mengerucut membuatnya tampak menggemaskan. Auranya kuat sekali. Kutub magnetku seperti ditarik paksa mendekat padanya. Please say ‘Yes’ untuk tawaranku, dan kupastikan kamu jatuh cinta padaku. Tekadku.
=================

Catatan hari ke-2:
Saya tidak pernah menulis dari POV laki-laki. Kenapa? Karena saya perempuan dan saya tidak paham dengan pola berpikir pria. Saya tidak berani ambil risiko salah, sampai hari ini. Saya ingin mencoba berbicara dari sudut pandang laki-laki. Kalau tidak sesuai, mohon masukannya. At least, saya mencoba keluar dari zona nyaman :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar