To: D
Sudah dua jam aku terjebak di mobil. Macetnya lalu lintas
Jakarta, terutama setelah hujan, katanya memang salah satu cara tercepat
membuat kita tua sia-sia. Dalam dua jam ini yang kulakukan hanya bolak-balik
menatap layar ponsel sambil mengecek aplikasi Google Maps yang indikator
warnanya masih saja tidak berubah. Merah pekat di sepanjang rute menuju
apartemen.
Aku ingat, D. Kamu tidak pernah suka naik mobil di Jakarta. Tidak
ketika kamu harus menyetir sendiri maupun ketika ada sopir. Kamu lebih memilih
naik motor yang kamu bilang praktis dan membuatmu terlihat macho. Alasan yang
tentu saja kucibir. Darimana datangnya macho kalau habis naik motor di tengah
hari aromamu malah menjadi bau matahari? Walaupun kuakui juga sih kalau gayamu
ketika naik motor itu sudah pasti membuat mata para hawa tidak berkedip.
Tanpa sadar bibirku tertarik tipis. Lihat, D, hanya
mengingatmu di tengah macet saja bisa membuatku senyum-senyum sendiri. Aku
menghela napas panjang sambil mengamati sekeliling, kapan sih jalanan ini mulai
lancar? Aku sudah bosan. Entah sudah berapa banyak lagu dan ocehan penyiar
radio yang mengalun dari tape tapi
tetap tidak mampu menghiburku.
I think I like you.
Mataku tak lepas menatap jembatan penyeberangan di depan. Duh,
D, kenapa justru sekarang aku harus berpapasan dengan jembatan ini? Kata-katamu
jadi menari-nari lagi di ingatan. Bertahun lalu kamu sukses membuatku
tercengang. Aku tertawa kencang mendengarnya. Mana ada orang yang mengaku suka
di tengah jembatan penyeberangan di tengah malam sambil memegang tumblr kopi bermerek Starbucks setelah
berjibaku dengan rentetan meeting
panjang dengan headquarter Brazil?
Dan bodohnya, setelah menertawaimu sampai puas, aku justru percaya. Aku percaya
kamu suka padaku, D. Aku hanya menertawakan pilihan tempatmu yang sama sekali
tidak romantis.
Kuingat-ingat, kamu memang tidak pernah romantis, D. Tidak
pernah ada bunga darimu. Tidak pernah ada coklat atau hadiah-hadiah lainnya.
Kamu hampir tidak pernah memberiku sesuatu. Hampir. Karena satu-satunya barang
yang pernah kau beri hanya cincin yang melingkar di jari manis tangan kiriku.
Cincin yang hari ini kupakai lagi.
People say that you never know the value of a moment until it becomes a
memory.
(Architecture of Love – Ika Natassa)
Memori. Kini semua tentangmu memang hanya tinggal memori, D. Memori
yang menolak untuk kuhapus. Memori yang masih kuputar ulang setiap saat.
Karena..
Aku masih merindumu.
-Lana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar