Halaman

2 Feb 2016

Memori



To: D

Sudah dua jam aku terjebak di mobil. Macetnya lalu lintas Jakarta, terutama setelah hujan, katanya memang salah satu cara tercepat membuat kita tua sia-sia. Dalam dua jam ini yang kulakukan hanya bolak-balik menatap layar ponsel sambil mengecek aplikasi Google Maps yang indikator warnanya masih saja tidak berubah. Merah pekat di sepanjang rute menuju apartemen.

Aku ingat, D. Kamu tidak pernah suka naik mobil di Jakarta. Tidak ketika kamu harus menyetir sendiri maupun ketika ada sopir. Kamu lebih memilih naik motor yang kamu bilang praktis dan membuatmu terlihat macho. Alasan yang tentu saja kucibir. Darimana datangnya macho kalau habis naik motor di tengah hari aromamu malah menjadi bau matahari? Walaupun kuakui juga sih kalau gayamu ketika naik motor itu sudah pasti membuat mata para hawa tidak berkedip.

Tanpa sadar bibirku tertarik tipis. Lihat, D, hanya mengingatmu di tengah macet saja bisa membuatku senyum-senyum sendiri. Aku menghela napas panjang sambil mengamati sekeliling, kapan sih jalanan ini mulai lancar? Aku sudah bosan. Entah sudah berapa banyak lagu dan ocehan penyiar radio yang mengalun dari tape tapi tetap tidak mampu menghiburku.

I think I like you.

Mataku tak lepas menatap jembatan penyeberangan di depan. Duh, D, kenapa justru sekarang aku harus berpapasan dengan jembatan ini? Kata-katamu jadi menari-nari lagi di ingatan. Bertahun lalu kamu sukses membuatku tercengang. Aku tertawa kencang mendengarnya. Mana ada orang yang mengaku suka di tengah jembatan penyeberangan di tengah malam sambil memegang tumblr kopi bermerek Starbucks setelah berjibaku dengan rentetan meeting panjang dengan headquarter Brazil? Dan bodohnya, setelah menertawaimu sampai puas, aku justru percaya. Aku percaya kamu suka padaku, D. Aku hanya menertawakan pilihan tempatmu yang sama sekali tidak romantis.

Kuingat-ingat, kamu memang tidak pernah romantis, D. Tidak pernah ada bunga darimu. Tidak pernah ada coklat atau hadiah-hadiah lainnya. Kamu hampir tidak pernah memberiku sesuatu. Hampir. Karena satu-satunya barang yang pernah kau beri hanya cincin yang melingkar di jari manis tangan kiriku. Cincin yang hari ini kupakai lagi.

People say that you never know the value of a moment until it becomes a memory.
(Architecture of Love – Ika Natassa)

Memori. Kini semua tentangmu memang hanya tinggal memori, D. Memori yang menolak untuk kuhapus. Memori yang masih kuputar ulang setiap saat. Karena..

Aku masih merindumu.

-Lana-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar