Halaman

22 Agu 2013

Menyikapi Pertanyaan Basa-Basi

Akhirnya saya tidak tahan juga untuk mengomentari "pertanyaan basa basi yang jadi basi" versi banyak orang. Apa sih pertanyaan basa-basi?
 
"Oh, masih ngerjain skripsi ya? Tentang apa? Kapan kira-kira selesainya?" Nah, itu deretan pertanyaan basi yang biasanya ditanyakan ke adik-adik mahasiswa tingkat akhir. Terlihatnya luntang-lantung santai berdalih mengerjakan skripsi sementara kuliah pun sudah tidak ada. Yakin deh, gak ada yang lebih membetekan selain diingatkan soal skripsi yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera selesai.
 
Kalau kamu jomblo, bosan kan ya ditanya, "Kok belum punya pacar sih?" atau "Masak sih nggak ada yang tertarik sama kamu, kan sudah mapan?". Yah, tahulah pertanyaan apa yang biasa terlontar ketika kamu sudah dirasa cukup umur tetapi masih juga jadi single. Seringnya, si jomblo akan mengutuk habis-habisan si pemberi pertanyaan dengan alasan selalu mau ikut campur urusan orang.
 
Lain lagi ceritanya kalau sudah menikah. Pertanyaan basinya adalah, "Mana nih kok belum ada momongan? Sengaja menunda ya?" Itu berlaku kalau biasanya baru menikah 1-2 tahun. Kalau sudah >3 tahun belum punya baby juga, pertanyaan usilnya adalah, "Lho, belum ada momongan juga? Kurang usaha kali ya? Kamu kecapekan kerja kali, makanya resign aja." Lebih teganya lagi, kadang ada yang terang-terangan ngomong, "Kalau habis begituan, pantatnya terus diganjal bantal, biar gak keluar lagi."
 
Saya yang mengalami contoh kasus ketiga sering dibuat terperangah dengan komentar orang-orang ini. Saya sendiri sudah melewati 5 kali Lebaran dan melalui pertanyaan yang seringnya bikin bete itu dengan tegarnya. Plus, senyum tidak pernah lepas dari bibir saya. Jadi, walaupun dalam hati pahit, getir, malas menjawab pertanyaan yang itu-itu lagi, dari luar saya tetap happy.
 
Walaupun saya sudah melewati deretan pertanyaan mulai dari contoh kasus satu sampai tiga, saya tidak lantas membenci penanya-penanya itu. Saya mencoba memahami si pemberi pertanyaan dengan selalu berpikir bahwa mereka bertanya karena memang peduli. Mereka ingin tahu kabar saya. Walaupun, somebody said that peduli dengan kepo a.k.a selalu mau tahu urusan orang itu bedanya tipis.
 
Tetapi, lagi-lagi, saya mencoba berpikir positif. Sama seperti kita sebagai korban yang mengharapkan banyak orang care pada kondisi kita dengan tidak menanyakan pertanyaan usil. Kenapa kita tidak membaliknya menjadi seseorang yang memahami bahwa pertanyaan itu memang murni karena mereka peduli, sesuai dengan asas masyarakat Indonesia yang katanya suka menolong tanpa pamrih (katanya pelajaran SD dulu begitu ya :p). Yup, karena ujungnya biasanya mereka akan mengoceh dengan memberikan saran ini-itu, yang kalau mau jujur, sebenarnya sudah pernah kita lakukan, tetapi sayangnya masih gagal juga.
 
Contohnya gampangnya ya saya lagi. Kerabat saya akan menyarankan supaya saya ikut program dokter, itu sudah sering saya lakukan demi dapat momongan. Tante A bilang jangan terlalu capek. Oke, saya pindah kerja yang lebih santai sampai saya berpikir untuk membakar ijazah S2 saya karena pekerjaan saya sekarang bahkan hanya perlu 50% dari kapabilitas yang saya yakin saya miliki. Makan kurma muda, banyak makan sayur, minum kapsul entah apalah, itu juga sudah sering. Cuma bayi tabung saja yang belum dicoba karena saya dan suami masih belum mau menyerah.
 
Intinya, saya cuma ingin mengingatkan baik kepada si penanya-penanya usil maupun kepada si korban penjawab pertanyaan. Saya tahu niat kalian bertanya itu baik, peduli pada kami, tetapi tidak perlu juga kan ditanyakan berulang-ulang. Dan kepada kita yang menjadi korban harus menjawab pertanyaan, ya hormati juga mereka yang bertanya. Tidak perlu kesal dan mengucapkan sumpah serapah, cukup menjawab dengan sopan disertai senyum, kalau perlu minta doa sekalian. Saya yakin dunia lebih indah kalau kita tahu etika bertenggang rasa. Salam damai! ^_^
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar